Kenapa Kasus Ini Seakan Ditutup? Kasat Reskrim SBD Diduga Intimidasi Wartawan di TKP

banner 468x60

SBD, pantaukorupsi.com — Arogansi kekuasaan kembali mencoreng wajah penegakan hukum di Nusa Tenggara Timur.
Seorang wartawan dari media TipikorInvestigasi diduga kuat mendapat intimidasi dan ancaman dari Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polres Sumba Barat Daya (SBD) saat meliput kasus pembunuhan di Desa HowaWungo, Kecamatan Kodi Utara, pada Kamis, 6 November 2025.

Peristiwa ini menjadi tamparan keras bagi jaminan kebebasan pers yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Insiden terjadi saat wartawan tengah menjalankan tugas jurnalistik di Tempat Kejadian Perkara (TKP) — area publik yang seharusnya dapat diliput selama tidak mengganggu proses penyelidikan.

Menurut informasi yang dihimpun, Kasatreskrim Polres SBD diduga memaksa wartawan menghapus dokumentasi foto dan video liputan.
Tindakan tersebut disertai aksi yang dinilai represif dan intimidatif:

Perampasan Paksa: Terjadi adu mulut dan tarik-menarik di TKP ketika Kasatreskrim mencoba merampas HP wartawan.

Ancaman dan Penahanan: Wartawan sempat diperintahkan untuk dibawa ke Polsek Kodi Utara tanpa penjelasan hukum yang jelas.

Padahal, berdasarkan keterangan yang diperoleh, wartawan hanya melakukan dokumentasi pada awal kegiatan, sebelum proses autopsi dimulai.
Wartawan juga memahami dan menaati aturan kode etik jurnalistik, termasuk larangan mendokumentasikan korban dalam kondisi tidak berpakaian.
Namun pertanyaan besar muncul: mengapa Kasatreskrim justru terkesan tidak menginginkan kasus ini dipublikasikan ke masyarakat?

Tindakan intimidatif ini diduga melanggar Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyebutkan bahwa “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran atau pelarangan penyiaran” serta “setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan tugas jurnalistik dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”

Perlakuan tersebut dinilai mencederai semangat kemitraan antara pers dan aparat penegak hukum.
“Ini bukan sekadar intimidasi, tapi bentuk nyata penyalahgunaan wewenang. Polisi seharusnya mitra pers, bukan pihak yang mengancam kerja jurnalistik,” ujar seorang jurnalis lokal yang mengetahui langsung kejadian itu.

Berbagai organisasi pers di NTT menyerukan agar pimpinan kepolisian segera mengambil langkah tegas untuk mengusut insiden ini secara transparan.

Redaksi delikkasus86.com telah meminta konfirmasi kepada Kapolres Sumba Barat Daya, dan beliau menyampaikan permohonan maaf atas insiden tersebut.

“Saya sudah menanyakan langsung perihal kejadian itu. Kasat menyampaikan bahwa  wartawan sedang mendokumentasikan proses autopsi korban dalam kondisi tidak berpakaian, yang memang dilarang secara etik dan hukum,”
jelas Kapolres SBD.

Kapolres menegaskan dirinya tetap menghargai kerja jurnalis sebagai mitra strategis Polri, serta berkomitmen menjaga kemitraan yang baik.

“Kami sangat mengapresiasi kerja teman-teman jurnalis. Jika ada anggota saya yang bertindak di luar kewenangan, silakan laporkan langsung ke saya. Saya akan tindak lanjuti,” tegasnya.

Sementara itu, upaya redaksi untuk meminta klarifikasi langsung kepada Kasatreskrim Polres SBD belum mendapat tanggapan hingga berita ini diterbitkan.

Catatan Redaksi

Redaksi liputankpk.com menegaskan bahwa pemberitaan ini disusun berdasarkan prinsip cover both side, sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Tujuannya untuk menyampaikan informasi faktual kepada publik serta memperkuat kemitraan antara jurnalis dan aparat penegak hukum dalam koridor profesionalisme./Red

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *